Karena masa depan itu sungguh nyata ...dan harapanmu tidak akan hilang!

Monday, November 14, 2016

Gods of Egypt: Film Jelek Yang Bagus dan Mengasyikkan

Kalau disuruh kasih bintang berapa untuk film ini, saya bakal kasih bintang lima dari lima, bintang sepuluh dari sepuluh, bahkan saya bakal tambahin bulan sekalian di antara bintang-bintang itu. Haha.



Mengapa? Sebab, disamping karena saya termasuk buta-tuli tentang sejarah dan mitologi Mesir kuno selain yang pernah saya baca tentang Cleopatra, atau nonton sekilas-sekilas di Discovery Channel atau nyaris hafal luar kepala tentang gimana hubungan Mesir dan Israel kuno melalui Alkitab, saya juga nggak berharap disuguhi film sejarah serius (serahkan itu kepada History Channel saja deh) ketika memilih untuk menonton Gods of Egypt ini. Saya bahkan nggak punya ekspektasi apa-apa. Mungkin karena itu, maka film ini dengan gampangnya melebihi ekspektasi saya dan membuat saya merasa sangat terhibur. Terpuaskan.






Sebelum era para firaun, Mesir diperintah langsung oleh dewa-dewi. Ra, dewa matahari, menciptakan mesir, semacam taman firdaus dimana dewa-dewi tinggal dan memerintah manusia. Dewa-dewi ini jauh lebih tinggi dari kebanyakan manusia (mungkin sekitar tiga meter tingginya), darah mereka dari emas dan mereka memiliki umur yang sangat panjang, tetapi bukan mahluk abadi.

Ra membagi Mesir menjadi dua bagian, Mesir yang tanahnya subur diberikan kepada anak sulungnya, Osiris, sedangkan padang pasirnya diberikan kepada Seth, anak bungsunya. Cerita ini dimulai ketika terjadi perpindahan kekuasaan.

Osiris memiliki seorang anak, Horus, pewaris tahtanya. Horus mempunyai seorang kekasih, Hator, dewi cinta. Lalu, ada seorang manusia biasa bernama Bek dan kekasihnya, Zaiya. Bek memiliki keahlian yang diperlukan untuk bertahan hidup, yaitu mencuri dan mencopet. Untuk mencuri diperlukan kecerdikan. Untuk sukses dalam mencopet diperlukan kecepatan dan kegesitan. Setelah narasi tentang mesir pada pembukaan film ini, kita diajak melihat bagaimana Bek mencuri sebuah gaun mewah yang kemudian dihadiahkannya kepada Zaiya. Gaun tersebut dikenakan Zaiya ketika menghadiri perayaan pelantikan Horus menggantikan Osiris.

Bek, yang menjadi narator cerita ini, lalu membawa kita menyaksikan pelantikan Horus. Di sini, titik balik cerita, ketika Seth tiba-tiba muncul dan merebut tahta. Seth membunuh Osiris. Seth, nyaris membunuh Horus, jika tidak dicegah oleh Hator yang menawarkan diri menjadi pendamping Seth. Seth melepaskan Horus, tetapi mencabut kedua mata Horus, yang  ketika dicabut berubah menjadi...berlian. Emejing memang. Makanya, jangan terlalu serius nontonnya ya boys and gals.

Sejak Seth memerintah Mesir keadaan tidak lagi sama dengan ketika Osiris yang bijaksana dan baik hati memerintah. Seth, diktator sejati, menjadikan manusia sebagai budak-budaknya untuk membangun menara yang tinggi. Menara ini dibangun khusus untuk mendapatkan perhatian Ra. Seth merasa harus membuat Ra bangga pada pencapaiannya. Setiap dewa-dewi yang memberontak, pasti diburu dan dibunuh oleh Seth. Horus sendiri dikucilkan di dalam kuilnya, buta dan putus harapan.

Sementara itu, kekasih Bek, Zaiya, menjadi budak kepala arsitek istana, yang diklaim sebagai manusia paling cerdas di seantero Mesir. Bek sering menyelinap ke istana kepala arsitek untuk bertemu dengan Zaiya. Zaiya membujuk Bek, yang tidak percaya kepada dewa-dewi, untuk menolong Horus kembali menjadi raja dengan cara mencuri kembali mata Horus dari tangan Seth. Sayangnya, meskipun Bek berhasil menaklukkan jebakan-jebakan berbahaya, dan mendapatkan kembali sebelah mata Horus, usaha mereka ketahuan oleh kepala arsitek, dan dalam proses mencoba melarikan diri, Zaiya terbunuh.

Kematian Zaiya ini menjadi titik balik film ini. Ini point of no return bagi Bek. Penjajahan dan perbudakan yang ditimpakan oleh rezim Seth masih dapat diterimanya, tetapi kematian Zaiya tak dapat diterima oleh Bek, terutama karena Zaiya tidak memiliki harta untuk ditawarkannya kepada Hades. Zaiya sudah pasti masuk neraka. Hukum ini ditetapkan oleh Seth ketika mengangkat diri menjadi raja, yaitu siapa yang tidak bisa mempersembahkan emas atau barang berharga tidak akan mendapat kehidupan abadi di nirwana. Satu-satunya cara menyelamatkan Zaiya dari siksaan abadi adalah dengan menyingkirkan Seth dari tahta dan hanya Horus yang dapat melakukan hal itu.

Di sinilah petualangan Bek dan Horus yang kemudian didampingi oleh Hator dan Zoth, dewa kebijaksanaan, dimulai. Untuk membunuh Seth, mereka harus memadamkan api padang gurun dengan air penciptaan yang mengalir di atas kapal perang Ra.

Kapal perang Ra? Yap, Ra melayang-layang di atas ciptaannya dalam sebuah kapal karena dia harus menjaga ciptaannya dari kegelapan yang selalu ingin menghancurkan dunia. Setiap malam, Ra harus berperang melawan kegelapan dan mengusirnya.

Apa yang menarik adalah dialog antara Ra dan Seth ketika Seth datang menemui Ra dan bertanya, mengapa Ra memberikan semua hal yang terbaik kepada Osiris dan memberikan bagian yang berat dan buruk kepadanya. Jawaban Ra, hidup ini adalah sebuah ujian. Osiris lulus ujian ketika dia tidak mempertahankan tahtanya mati-matian tetapi bersedia menyerahkan tahta kepada Horus saat waktunya tiba. Sementara ujian bagi Seth adalah padang pasir, sebab dia dipersiapkan untuk menggantikan Ra, menjaga dunia dari serangan kegelapan. Seth tidak menginginkan takdir seperti itu, yang diinginkan Seth adalah menjadi abadi dan memerintah Mesir, surga dunia, untuk selama-lamanya.

Sementara Horus, keinginannya adalah melakukan balas dendam untuk ayah dan ibunya yang telah dibunuh oleh Seth. Tetapi kekuatan Horus yang sesungguhnya, menurut Ra, bukan dalam usaha merebut kembali tahta dan membunuh Seth, tetapi dalam tujuan yang lebih besar dan tidak egois, yaitu, menyelamatkan dan melindungi rakyatnya. Karena sejatinya, itulah tugas seorang pemimpin.

Sementara Bek, manusia paling cerdas di seantero mesir, satu-satunya hal yang membuatnya nekad melakukan perjuangan adalah.... perjuangan cinta (persis seperti Sailormoon!), dia berjuang untuk orang yang paling dicintainya, Zaiya. Kekuatan cintanya kepada Zaiya yang mendorongnya untuk nekad berhadapan dengan dewa-dewi dan membuatnya menjadi faktor penting dalam perjuangan melawan kejahatan Seth.

Selain segala macam makna yang ada di film ini, aksi-aksi peperangan di udara, dewa yang dapat berubah wujud, dan baju-baju eksotis yang dikenakan oleh para artis, juga merupakan daya tarik tersendiri. So...just enjoy the ride! Santai aja...

Saturday, November 12, 2016

Before I Go: Ketika Kematian Tidak Dapat Dihindari, Apa Yang Harus Dilakukan?

Before I Go karangan Colleen Oakley, bercerita tentang bagaimana Daisy, seorang penderita kanker stadium lanjut menghabiskan sisa hidupnya dan bagaimana orang-orang terdekatnya menghadapi situasi ini.

Apa yang membuat Daisy menjadi istimewa untuk diceritakan?

Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu tahu hidupmu hanya tinggal beberapa bulan lagi? Bukan itu saja, selain hidupmu hanya tinggal hitungan hari, kamu juga harus menerima kenyataan bahwa kamu istimewa sebab kamu memiliki kanker di hampir semua bagian tubuhmu, di paru-paru, ginjal, usus besar, tulang dan otak. Bagaimana perasaanmu saat harus menerima semua itu sebagai sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari? Hal ini yang dialami oleh Daisy, tokoh utama novel Before I Go, salah satu novel dari 100 novel pilihan yang saya jadwalkan sebagai bacaan saya sejak akhir 2016 sampai sepanjang 2017 nanti.

Berhari-hari sepanjang dan setelah membaca novel ini (6-11 November 2016), saya bertanya-tanya, apa yang membuat Daisy begitu istimewa sehingga kisah hidupnya perlu diceritakan oleh Colleen Oakley? Saat chatting dengan Indah, dia mengatakan, ketika orang lain tahu seseorang adalah penderita kanker, seringkali yang melekat di benak orang-orang adalah kanker-nya dan itu saja yang lantas menjadi identifikasi utama tentang si penderita kanker, yaitu, dia penderita kanker, label itu melekat dan tak bisa lepas.

Saya kemudian berpikir, 'label' yang melekat itulah yang membuat Daisy menjadi istimewa dan perlu untuk diceritakan. Tanpa memilik kanker, tak ada hal yang jadi menarik untuk diceritakan dalam kehidupan Daisy. Dia hanya seorang wanita muda, berusia 27 tahun, baru dua tahun menikah dengan seorang suami yang mencintai dan dicintainya, sedang mengambil program master psikologi dan bercita-cita membuka praktek terapi psikologi. Singkatnya, hidupnya sama sekali tidak menonjol, datar, biasa-biasa saja dan bahagia. Mungkin, kehidupan Kayleigh, sahabatnya, jauh lebih menarik untuk dibahas daripada kehidupan Daisy yang aman dan tenteram, sampai dia diberitahu bahwa kanker, yang tadinya hanya di payudara-nya saja dan sudah diangkat, kembali menggila setelah 4 tahun dinyatakan bersih. Kanker, bukan hanya kembali ke tempat yang sama tetapi sudah menjelajah seluruh bagian tubuhnya, dan dia hanya punya waktu, 4-12 bulan untuk hidup. Pertanyaannya menjadi, apa yang akan dilakukan Daisy selama sisa waktu hidupnya?

Apa yang akan tak bisa dimilikinya? Dia tak akan bisa memenuhi cita-citanya untuk menjadi terapis. Dia tak akan bisa memiliki anak. Dia tak akan bisa mendampingi suaminya untuk waktu yang akan datang. Dia tidak bisa memperbaiki jendela-jendela dapur rumahnya. Dia tak bisa merenovasi rumahnya. Dan semua itu rasanya tidak adil sama sekali, sebab dia sudah melakukan semua hal yang seharusnya dilakukannya untuk menghindari kanker kembali dalam kehidupannya.

Daisy sudah melakukan segala-galanya dengan benar. Hidup sehat, dan rajin beryoga. Memakan hanya sayur dan buah-buahan organik. Tak pernah absen untuk cek kesehatan setiap enam bulan sekali. Tapi kanker tetap tumbuh dan menyebar di seluruh jaringan tubuhnya. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Hanya ada obat yang sedang dalam tahap uji coba, untuk memperpanjang hidupnya, dan operasi otak untuk mengangkat kanker sebesar jeruk orange dari dalam tengkoraknya hanya agar ia masih dapat menikmati kualitas hidup senormal yang masih bisa dinikmatinya. Dia hanya punya sedikit waktu dan begitu banyak kanker.

Semua ini, membuat Daisy menjadi istimewa! Ya, semua terminal illness itu adalah keistimewaan yang membuat it defines whoever has it. Sama seperti Superman yang istimewa karena kekuatan super yang membuatnya berbeda dengan orang-orang normal lainnya, sehingga yang dilihat orang-orang adalah kesuperannya, dan mereka gagal menghubungkan Clark Kent dengan Superman, demikian juga dengan kegagalan yang kerap menimpa orang-orang untuk melihat pribadi di balik penyakit yang dideritanya, karena dengan memiliki penyakit itu, ia menjadi istimewa, dia memiliki apa yang tak dimiliki oleh orang lain, dan dengan demikian ia juga memperoleh pengalaman yang tak bisa dirasakan oleh orang lain, bahkan orang paling dekatnya sekalipun.

Kekurangan maupun kelebihan sebetulnya adalah keistimewaan, it makes you stand out from the 'normal' crowd. Dan ini yang dipakai oleh Colleen Oakley untuk membuat Daisy menjadi tokoh utamanya. Dia memberikan hadiah istimewa, kanker yang sudah menyebar di seluruh jaringan tubuhnya. No way out. Bagaimana reaksi Daisy menghadapi kenyataan ini yang kemudian menjadikan cerita ini menarik untuk dituliskan. Apa yang membuatnya kemudian menjadi bestseller? Bagi saya, buku ini memberikan banyak masukan seperti yang saya tuliskan di bawah ini.

Apa saja pelajaran yang saya peroleh dari mengikuti kehidupan Daisy?

The moral of the story? Ya, setiap cerita yang bagus pasti mengandung pesan moral, itu sudah pasti. Mana ada manusia yang dapat menjalani kehidupan berkualitas di dunia ini bila ia tak memiliki kompas moral? Begitu pun cerita yang bagus dan berkesan, juga mengandung makna dan pelajaran yang dapat dipetik dari dalamnya. Pastinya, akan berbeda apa yang saya peroleh dan apa yang diperoleh oleh pembaca yang lain karena latar belakang maupun tujuan membaca menentukan juga bagaimana seseorang menerjemahkan dan mencerna sebuah konteks.

Pelajaran yang saya peroleh dari kehidupan Daisy adalah:

1. Ketika kehidupan berbelok sangat tajam, dan hanya tersisa "kamu pasti mati dalam beberapa bulan saja" maka, ada hal-hal yang terasa penting ketika kita tidak tahu ujung kehidupan kita akan sepanjang atau sependek apa, menjadi sama sekali tidak relevan dan kehilangan daya tariknya.

Tadinya, Daisy dengan penuh semangat belajar untuk menjadi psychotherapist. Dia punya tujuan yang jelas dan dia sedang melakukan langkah-langkah penting untuk mencapai tujuan tersebut. Namun ketika waktu yang dimilikinya tidak lagi cukup untuk memenuhi tujuan tersebut, tujuan itu menjadi tidak memiliki makna lagi. Dia harus memikirkan tujuan baru yang ingin dicapainya sebelum dia pergi.

Karena sepanjang hidupnya, Daisy terbiasa mandiri dan merasa dia bertanggungjawab menjaga orang-orang yang dikasihinya, maka tujuan utamanya kini menjadi mencari orang yang tepat untuk menggantikannya menjaga Jack, suaminya, ketika dia sudah tidak ada lagi. Istri baru untuk suaminya.

2. Ketika berada dalam situasi yang sangat buruk, akan sulit untuk mengungkapkan atau menyadari apa yang sesungguhnya diperlukan. Dan kehidupan tidak seharusnya berjalan normal dalam sebuah situasi yang abnormal. Kita tidak perlu berpura-pura segala sesuatu akan baik-baik saja ketika segala sesuatu tidak baik-baik saja dan tidak akan menjadi baik-baik saja.

Daisy mendorong Jack untuk tetap melakukan pekerjaan dan study-nya agar Jack bisa diwisuda pada bulan Mei. Daisy melakukan hal ini karena dia ingin masih bisa menyaksikan wisuda suaminya, dan kalau segala sesuatu berjalan seakan-akan tidak ada yang berubah Daisy mengira dia akan merasa baik-baik saja juga, no drama. Agar dapat melakukan semua itu, Jack harus tetap menjalani hari-hari seperti sebelum mereka mengetahui waktu Daisy terbatas. Situasi ini, pada akhirnya, terasa menyakitkan baik bagi Daisy sendiri maupun bagi Jack.

3. Ada waktunya untuk melepaskan. Hidup ini memang tidak berada dalam kendali kita. Kita hanya dapat mengendalikan sebagian kecil saja dari hidup ini, yaitu apa yang diberikan kepada kita setiap hari, dan misteri kapan kita akan meninggalkan semua yang sifatnya sementara saja ini. Bagi mereka yang diberikan keistimewaan untuk mengetahui bahwa waktu hidupnya hanya tinggal beberapa saat lagi, kesadaran untuk mau melepaskan kendali atas segala sesuatu dan menikmati saja hari-hari yang tersisa bersama mereka yang menyayanginya, adalah sebuah pilihan yang lebih baik untuk dirinya dan orang-orang yang mengasihinya.

Daisy terbiasa mandiri, dia mengurus segala keperluan ke dokter dan berobat, sendirian. Dia menolak membiarkan Jack menemaninya, dia jengkel ketika ibunya datang untuk merawatnya, karena dia ingin terlihat dan merasa kuat dan baik-baik saja. Di tengah keadaan yang tak dapat lagi dikendalikannya, Daisy merasa tetap harus memegang kendali atas dirinya, dan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Jack (suami), Kayleigh (sahabat) dan ibunya. Pada kenyataannya, dia memerlukan perhatian mereka, dan mereka juga memerlukan Daisy membiarkan mereka merawatnya.

4. Dalam keadaan apapun, prioritaskan waktu untuk dihabiskan bersama orang-orang yang dikasihi karena kita tak pernah tahu kapan saat terakhir kita bersama dengan mereka. Entah karena mereka yang meninggalkan kita atau kita yang pergi lebih dahulu.

Pada akhirnya, Daisy baru menyadari bahwa dia sangat memerlukan kehadiran Jack di sisinya, dan sudah membuang-buang waktu mereka yang hanya tinggal sedikit saja untuk mengurus berbagai hal yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya.

Bagaimana kesan saya tentang novel ini?

Emosional. Ada saat-saat dimana saya jengkel sekali kepada Daisy karena dia terlalu mandiri, dan dia pun menyadari hal itu. Sepertinya, justru karena itu maka dia menjadi tokoh yang patut untuk diceritakan. Dia tidak mengasihani diri sendiri. Dia tidak merasa perlu menjadi lemah karena penyakitnya. Dia selalu berusaha melakukan sesuatu untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Dia tidak hanya membuat rencana, tapi dia nekad melakukannya. Dia berusaha keras untuk mewujudkan rencana-rencana yang masih bisa dia lakukan sebelum kematiannya, meskipun sebetulnya rencana utamanya sangat tidak masuk akal dan tidak perlu untuk dilakukannya.

Penuh humor. Meskipun topiknya suram, yaitu, penyakit dan kematian, tetapi cara Daisy menceritakan keadaannya ringan dan penuh humor, sehingga novel ini tidak terasa terlalu terpuruk dalam kepedihan, meskipun kepedihan tak bisa dihindari.

Menyentuh. Bagaimana perasaanmu ketika sahabat dekat, atau istri, atau anak divonis mati dan kamu tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah agar hal itu tidak terjadi? Pertanyaan ini menyentuh hati saya begitu dalam. Sebab menghadapi kematian memang bukan hanya persoalan mereka yang akan pergi saja tetapi persoalan mereka yang ditinggalkan juga. Walaupun pada akhirnya, kita semua punya takdir yang sama, kita pasti mati, cepat atau lambat, dengan berbagai macam cara. Hanya saja, ketika kita tidak tahu kapan kita akan mati, kematian tidak terasa nyata. Padahal kematian adalah hal yang sangat nyata dan pasti terjadi. Kenyataannya, kita sebenarnya tidak punya kekuatan apapun untuk mencegahnya. Setiap hari kita hidup dalam ilusi bahwa kematian masih jauh dan tak perlu dipedulikan. Padahal...."Bisa saja saat berjalan keluar dari ruangan ini, tiba-tiba saja saya ditabrak bis dan meninggal." Kira-kira begitulah perumpamaan yang dinyatakan Patrick, seorang terapis pernafasan kepada Daisy saat dia menasihati Daisy untuk berani melepaskan kendali atas hidupnya.

Mengalir. Iya novel ini mengalir lancar dari awal hingga akhir. Saya berada di dalam kepala Daisy dari bulan Februari hingga bulan Mei, melihat apa yang dilihatnya, merasakan apa yang dirasakannya. Sekaligus menangkap perasaan-perasaan orang-orang di sekelilingnya, Jack, Kayleigh dan ibunya. Daisy mengakhiri catatan tentang dirinya di bab akhir bulan Mei. Jack melanjutkan kisahnya, setahun kemudian di bulan Mei, setahun setelah kepergian Daisy dari kehidupan mereka.

Hidup harus berjalan terus. Mungkin kehidupan selanjutnya tidak seperti yang ingin diatur oleh Daisy, tetapi hidup harus terus berjalan dan akan terus berjalan. Mereka yang ditinggalkan akan menemukan cara untuk terus hidup dan memenuhi tujuan-tujuan mereka masing-masing dengan cara mereka masing-masing dan Daisy yang sudah pergi tetap hadir dalam kenangan yang dengan penuh kasih menghubungkan mereka. Ini harapan yang dititipkan penulis novel ini di akhir cerita. Apakah dalam suatu masa yang akan datang Jack dan Kayleigh akan menjadi pasangan? Sepertinya kita bisa membuat cerita sendiri.


Thursday, October 27, 2016

The Game We Play, Refleksi Setelah Menonton Game of Thrones

Dua minggu belakangan ini, saya mulai menonton ulang Game of Thrones, sambil ikut menunggu season terakhir dari serial ini. Game of Thrones, di balik adegan-adegan saling bunuh dan adegan seks yang secara brutal mempertontonkan tubuh-tubuh yan terbelah maupun tubuh-tubuh telanjang sepanjang hampir semua episodenya, sebetulnya adalah cerita tentang politik, tentang bagaimana bertahan hidup dalam sebuah dunia yang brutal. Dalam dunia Game of Thrones, kebaikan, kebenaran, kehormatan dan cinta saja tidak cukup untuk membuat seorang tokoh bertahan hidup. Tokoh yang tidak punya ambisi untuk menjadi the ruler of the 7 kingdoms, tidak pantas untuk tetap hidup, meskipun menurut perasaan kita, dia adalah tokoh baik yang kita sukai dan harapkan menjadi lebih dari sebuah kepala terpenggal yang dipancang di atas tombak.

Percayalah, kalau Ned Stark saja bisa berakhir tragis, apalagi Robb Stark yang saat ditanya apa yang akan dia lakukan setelah memenangkan perang, menjawab dia akan kembali ke Winterfell dan tidak mengklaim tahta di King's Landing. Teeet-tooot! Jawaban yang sangat salah. 

Saya sudah belajar dari pernyataan Cersei Lannister kepada Ned Stark, "When you play the game of thrones, you win or you die, there is no middle ground." Bahkan ketika seorang tokoh menang tapi dia tidak mau mengambil apa yang seharusnya diklaimnya, dia pasti mati karena akan ada tokoh lain yang mengklaim apa yang tidak diklaimnya dan sebagai ancaman terbesar maka tokoh yang lalai dan tidak mengklaim haknya itu harus disingkirkan.



Setiap tokoh yang fokusnya melenceng dari memperebutkan tahta, harus disingkirkan karena dia tidak ada gunanya untuk jalan cerita. Setiap tokoh, seberapa busuknya pun dia, jika fokusnya adalah tahta, maka dia harus dipertahankan. Itu sebabnya, Cersei Lannister merupakan salah satu tokoh sentral yang tidak dapat digantikan. Sansa Stark, dari awal merupakan tokoh yang fokus ingin menjadi ratu, maka dia selamat. Denaerys Targaryen, fokusnya juga tepat, ingin pulang ke Westeros dan mengklaim tahta, maka dia pasti selamat. John Snow, atau seharusnya John Targaryen, dia selamat karena dia pewaris tahta seperti Denaerys dan karena dia bertekad menyelamatkan kerajaan dari the Night King. Semua tokoh-tokoh yang selamat sampai ke season 7 adalah tokoh-tokoh yang memang diperlukan untuk memainkan perebutan tahta. Perebutan tahta ini pun hanya sebuah pemanasan, sebab pertandingan yang sesungguhnya adalah antara the living and the dead, fire and ice, The Lord of Light against the Night King. Manusia versus Zombie. Sungguh yuck, I hate zombie's movies, makanya saya nggak pernah mau nonton film The Walking Dead. Tapi karena saya sudah terlanjur ingin tahu bagaimana nanti naga-naga mencairkan es di utara, dan apakah mungkin, daripada menjadi penjaga tembok utara, Brandon Stark yang bakalan jadi raja, atau dia justru hanya akan menjadi Frodo bagi John Snow yang menjadi Aragorn-nya (kalau saya ikut 'bermain' di GoT, pasti sudah mati duluan karena salah pilih siapa yang diikuti, hahaha), maka saya terpaksa harus menonton sampai akhir.

Baiklah, The Game of Thrones ini menyadarkan saya bahwa kita semua berada dalam sebuah lingkaran permainan. We all play the Game of Life. Dalam permainan kehidupan, ada berbagai macam permainan yang bisa kita pilih untuk kita mainkan dan jika ingin berhasil dalam memainkannya kita juga harus tahu gimana cara memainkannya, apa saja aturan-aturan yang ada di dalamnya dan bila perlu, seperti kata Denaerys, 'I'm not going to stop the wheel, I'm going to break the wheel.' Semuanya menjadi mungkin, dengan satu syarat utama, fokusnya harus tepat. 

Tadinya, Saya Memilih Ahok Bukan Karena Sama-sama Kristen, Tapi Sekarang...

Sejak 11 Oktober 2016, saya menutup akun Facebook untuk sementara waktu, sampai Februari 2017, setelah pilkada serempak selesai dilaksanakan. Alasan saya sederhana saja, muak membaca gonjang-ganjing isu agama dibawa ke politik, sebab saya jadi punya banyak alasan untuk menghina agama tertentu yang memang menurut pandangan subyektif saya, sangat patut terhina dan dihina justru karena ulah umatnya sendiri. Nah... intensitas emosi saya yang sudah seperti ini, menurut agama yang saya anut, tidak lagi patut untuk dibiarkan dan diikuti, karena seharusnya sebagai orang Kristen, selain selalu menyatakan kebenaran saya juga harus mampu melaksanakan ajaran Kristus yan satu ini, 'siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu' (Matius 5:39), intinya, menurut rasul Petrus, 'janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, caci maki dengan caci maki' (1Petrus 3:9). Karena saya tahu bahwa saya tidak akan mampu melakukan perintah tersebut kalau saya membiarkan diri saya tetap berada di lingkaran media sosial dan dampaknya bakalan buruk untuk kesehatan mental saya sendiri, maka saya memutuskan untuk menahan diri dan menghindar dari kemungkinan terburuk itu. Saya memutuskan untuk, walk away untuk sementara waktu. Facebook bukan sebuah kewajiban, hahaha...

Ketika waktunya tiba, saya sudah tahu saya akan memilih nomor dua. Tadinya, saya bukan memilih Ahok karena kami sama-sama kristen (baca di sini: Ini Alasan Mengapa Walaupun Saya Kristen, Tapi Tidak Serta-Merta Pilih Ahok). Tapi sekarang, justru karena Ahok cina kristen itulah maka dia mampu menunjukkan kualitasnya yang mumpuni. Justru karena Ahok, Cina dan Kristen, maka dia menjadi Ahok yang luar biasa itu. Kalau dia Cina dan mantan Kristen, bisa-bisa dia berakhir seperti Felix Siauw, ngeri nggak membayangkannya? Justru, karena dia Cina Kristen yang begitu vokal menyuarakan dan melakukan apa yang benar untuk bangsa ini, untuk ibu kota, untuk rakyat sesuai dengan hukum yang berlaku dan membuat pertimbangan2 sesuai ahlak serta ajaran agama yang dianutnya, maka dia jadi berbeda. Dia menjadikan dirinya tolok ukur bagi orang-orang Kristen lainnya bahwa di negara yang luar biasa bebasnya isu SARA dimainkan oleh sebagian populasinya, masih lebih banyak orang-orang yang ternyata waras dan berani mendukungmu, apapun agamamu dan apapun ras asalmu, asal kamu berani menunjukkan kebenaran dan tidak mundur ketika kesempatan diberikan kepadamu untuk melakukan perubahan.

Banyak orang kristen atau non-kristen yang baik, tapi takut-takut ketika kesempatan mereka ada, sehingga ketika seharusnya mereka bersinar, sinar mereka redup karena mereka tak berani tampil sebaik-baiknya, saat tampil sebaik-baiknya itu berarti harus melawan kelompok mayoritas yang korup dan bermoral rendah. Ahok tidak terintimidasi, dia justru dengan kepala tegak dan aksen bangka-belitongnya yang kental itu, secara menyolok menunjukkan bahwa, justru karena dia kristen maka dia harus bersinar seterang-terangnya, dia harus membuat perubahan, dia harus menjadi contoh bagaimana seorang anak Tuhan yang berjalan dalam terang melakukan tugas-tugasnya. Dia nekad membawa terang ke dalam kegelapan, membawa sinar itu sampai ke pelosok paling gelap di WC paling gelap dan paling busuk baunya. Dengan kenekadan itu, dia membuat raja jin, raja coro, raja ork dan begundal-begundal mereka  yang selalu bisa bersembunyi di dalam gelap, kini pontang-panting kelimpungan mencari jalan menghindari terang yang semakin lama semakin benderang itu. Ahok menunjukkan, ketika dia secara sadar tidak hanya bekerja untuk manusia, tapi juga bekerja untuk Tuhan, untuk melakukan hal yang benar di tengah politik yang tak pernah benar-benar hitam putih itu, maka Tuhan yang akan melapangkan jalannya, seberapa besarpun tantangan yang terus menghadang. Orang bisa bilang Ahok itu hoki, beruntung saja. Tapi keberuntungan yang terus-menerus? Hehehe.... Saya lebih percaya bahwa Tuhannya dan Tuhan saya, yang membukakan Laut Merah untuk Musa dan Israel, bukan Tuhan yang lemah dan karena itu perlu pasukan untuk membela dan menyelamatkannya. Tuhan yang disembah Ahok dan saya justru adalah Tuhan pembela dan penyelamat. Dialah satu-satunya Tangan Yang Kuat itu. Tak perduli berapa banyaknya tantangan dan rintangan, ketika Tangan Tuhan ada di atasmu, tak ada yang dapat menghalangimu. Bahkan kematian, bukan hal yang menakutkan sama sekali, itu sebabnya Ahok berani, dia tahu Tuhannya sudah mengalahkan kematian. Tuhan itu, yang menjadi pembelanya dan sandarannya.

Saya, tentunya, bukan pembela Ahok. Saya tidak mampu melakukannya. Siapa saya sih? Saya memilih untuk walk away, sebab saya percaya, Tuhan sudah memilih siapa juaranya. Tugas saya hanya cukup membuat pilihan sesuai hasil pengamatan dan hati nurani pada pilkada DKI di bulan Februari 2017. Gimana nanti skor akhirnya, itu sudah ada dalam suratan takdir. Tapi saya belum tahu takdir akan seperti apa. Syukurlah, dengan begitu saya masih bisa merasa saya punya andil dalam menentukan jalannya sejarah Jakarta. Saya ingin Jakarta maju dan berkembang di bawah kepemimpinan seorang cina kristen yang diberkati untuk memberkati kota ini. Maka, ya, sekarang saya memilih Ahok karena dia kristen dan karena dia cina dan karena saya seratus persen yakin dia mampu memimpin Jakarta menjadi jauh lebih baik daripada yang pernah dibayangkan. Jakarta yang terlahir kembali, lebih baik, lebih maju, lebih kuat!

Saturday, October 01, 2016

Katakan Cukup Sudah, Aku Bukan Sisyphus

Cukup sudah. Gambar ini sudah saya posting
di instagram
Ada masanya, kita--kita? lebih tepatnya, saya--seperti Sisyphus, melakukan hal yang sia-sia secara berulang-ulang, nggak pernah selesai-selesai. Eh, sebentar... Tau kan hal sia-sia seperti apa yang terpaksa harus dikerjakan Sisyphus sepanjang keabadian? Tau juga kah cerita kenapa dia sampai harus melakukan hal itu? Mungkin ada yang belum tahu, dan karena mood saya sedang kepingin nulis postingan panjaaang, mari saya ceritakan kembali mitos Yunani yang satu ini. Ceritanya menarik.

Kisah Sisyphus

Sisyphus adalah seorang raja dari Ephyra atau yang sekarang disebut sebagai Corinth (Korintus). Sebagai penguasa dia terkenal cerdas dan culas. Untuk melanggengkan kekuasaannya, dia melakukan segala cara dan membunuh banyak orang. Tetapi dosa terbesar yang dilakukannya adalah sesumbar bahwa dia lebih cerdas dari Zeus. Sebagai mahadewa, Zeus tentu tidak terima. Sisyphus lalu dihukum dengan dikirim ke dunia bawah, Tartarus, yang dikuasai oleh Kematian, Thanatos. Namun apa yang terjadi? Sisyphus berhasil menjebak dan merantai Thanatos lalu kabur dari Tartarus. Akibatnya, tak ada manusia yang meninggal untuk jangka waktu yang sangat lama, karena Kematian diikat oleh Sisyphus. Hal ini menjengkelkan bagi Ares, dewa perang, karena apa asyiknya dalam sebuah peperangan saat tak ada yang mati terbunuh? Maka dewa-dewa pun bersepakat untuk bersama-sama menangkap manusia yang merepotkan dan mengacaukan keseimbangan yang mereka ciptakan. Mereka lalu mengancam akan membuat hidup Sisyphus begitu menderita sehingga ia akan memohon untuk mati. Sisyphus pun tak berani mengambil resiko tersebut, ia membebaskan Thanatos dan menerima hukumannya.

Apa hukumannya?

Hukumannya adalah untuk selama-lamanya, Sisyphus harus melakukan satu kegiatan, mendorong sebongkah batu besar ke atas gunung dan batu itu akan meluncur turun kembali sehingga Sisyphus harus mendorongnya lagi ke atas. Demikian berulang-ulang, sepanjang keabadian.

Saya bukan Sisyphus. Tetapi selama bertahun-tahun, sejak 2006 hingga 2016 ini, saya melakukan hal yang mirip seperti yang dilakukan oleh Sisyphus. Menjalani hal yang sia-sia untuk dilakukan, bukan karena kena kutukan atau hukuman dewa-dewa, tetapi karena belum memiliki kesadaran bahwa saya sedang menjalankan "hukuman" yang seharusnya tidak perlu saya jalani.

Beruntungnya, saya, berbeda dengan Sisyphus, tidak harus mendorong batu itu ke atas dan boleh membiarkannya menggelinding sesukanya. Saya, tidak seperti Sisyphus, bebas merdeka untuk keluar dari tartarus dan bisa pergi kemana saya kehendaki. Mantera untuk membebaskan diri dari kesia-siaan hanya satu: cukup sudah.

Ya, kesabaran harus ada batasnya. Ada kecukupannya. Itu semua untuk kebaikan manusia bahwa ada batasan-batasan. Batasan kesakitan adalah kematian. Batasan kemarahan adalah tindakan. Batasan kesabaran adalah perubahan. Setidaknya, itu bagi saya. Saya bersyukur, cuma perlu waktu sepuluh tahun untuk menyadari kesisyphusan yang sudah saya lakukan perlu dihentikan sebab saya nggak berbahagia melakukannya. Begitu saya putuskan untuk cukup sudah, dan meninggalkan semuanya begitu saja, langkah saya ternyata enteng-enteng saja. Jalan di depan sana aman-aman saja. Sejauh ini, hari-hari saya tetap normal-normal saja, haha... emang mau jadi aneh kayak apaan sih?

Semua itu memberikan satu lagi pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengalaman ini yaitu, be brave, jangan maju mundur, melangkah ke depan, biarkan apa yang tak bisa diselesaikan dan diubah untuk direlakan saja. Bukan bagian saya untuk memperbaiki apa yang memang bukan tugas saya. Saya bahkan tidak perlu membuang-buang tenaga dan waktu untuk itu. Saya seperti baut yang berbeda ukuran dimasukkan secara paksa pada sebuah mur. Pantas saja makin nggak beres, saya yang semakin lama semakin nggak nyaman dan bosan, dan akhirnya muak. Muak itu penting ternyata, haha... Muak itu, puncak kesadaran. Lalu semua menjadi lebih jernih saat melepaskan sumber masalah.

C'est la vie. Begitulah hidup...