Kate dan Tully sama-sama memiliki keraguan dalam soal cinta. Tully, karena selalu diterlantarkan oleh ibu kandungnya, merasa susah untuk percaya seseorang mencintainya dan tidak akan pernah secara sengaja meninggalkannya. Sementara Kate, yang dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang, selalu percaya bahwa cinta sejati itu ada, tetapi rasa tidak percaya diri membuatnya selalu meragukan cinta John kepadanya.
Persahabatan Kate dan Tully dapat bertahan karena Kate selalu mengalah dan mentolerir segala tingkah-polah Tully. Hubungan persahabatan antara Kate dan Tully, lebih mirip hubungan antara seorang kakak yang memanjakan adiknya yang selalu bertingkah, meskipun bagi orang lain sudah melewati batas, tetapi kakak yang baik selalu memaafkan dan menerima kembali.
Titik paling rendah dalam persahabatan mereka adalah saat Tully dan Marah, anak sulung Kate, bersekongkol untuk menampilkan Kate dan Marah dalam acara tv milik Tully (yang kini sudah seterkenal Oprah) dengan topik the over protective mothers and the teenage daughters who hate them. Apa yang dilakukan Tully kali ini sudah melampaui batas. Akibatnya, persahabatan itu putus. Selama dua tahun, keduanya tidak saling berbicara. Tully tidak mau meminta maaf, Kate tidak mau lebih dahulu memaafkan seperti yang biasanya dia lakukan.
Lalu, Kate terkena inflamatory breast cancer, dan dia menghubungi Tully karena dia ingin ditemani sahabat terdekatnya dalam menghadapi saat-saat akhir. Demikianlah, Tully dan Kate dipersatukan kembali. Kate tentu saja meninggal dan menitipkan keluarganya kepada Tully.
Apa yang selanjutnya terjadi, ada di novel lanjutannya.
Saya tidak bisa membaca novel ini sampai habis.
Novel ini menyebalkan sangat.
Semua tokoh-tokohnya muram dan terus-terusan berputar-putar memikirkan Kate yang sudah mati, seakan-akan mereka nggak punya kerjaan lain. Saya justru jadi kesal kepada Kate yang sudah meninggal itu, dan sekarang jadi semacam hantu di novel kedua ini, hantu yang tak rela meninggalkan cerita yang seharusnya sudah bukan lagi tentang dia. Kepingin teriak, go away, let others move on.
Saya juga tidak merasa bersimpati kepada Johnny, duda yang hanya bisa marah dan bersedih karena kehilangan Kate-nya yang tercinta. Oh, puuullleeeaaazeeeeh.
Tidak juga kepada Tully, yang menjadi pemabuk dan minta dikasihani terus-menerus, dan memimpikan Kate terus-menerus. Just die and be done with it Tully.
Apalagi kepada Marah, anak sulung Kate, yang egois, pemarah, manja, selalu minta perhatian, dan songong. Saya jadi berharap mereka semua mati saja bersama-sama dengan Kate yang mereka rindukan itu.
So, I stop reading, sebab saya bahkan tidak peduli bagaimana akhir cerita untuk masing-masing tokoh. Bagi saya, mereka sudah mati bersama kematian Kate.
Semua tokoh-tokohnya muram dan terus-terusan berputar-putar memikirkan Kate yang sudah mati, seakan-akan mereka nggak punya kerjaan lain. Saya justru jadi kesal kepada Kate yang sudah meninggal itu, dan sekarang jadi semacam hantu di novel kedua ini, hantu yang tak rela meninggalkan cerita yang seharusnya sudah bukan lagi tentang dia. Kepingin teriak, go away, let others move on.
Saya juga tidak merasa bersimpati kepada Johnny, duda yang hanya bisa marah dan bersedih karena kehilangan Kate-nya yang tercinta. Oh, puuullleeeaaazeeeeh.
Tidak juga kepada Tully, yang menjadi pemabuk dan minta dikasihani terus-menerus, dan memimpikan Kate terus-menerus. Just die and be done with it Tully.
Apalagi kepada Marah, anak sulung Kate, yang egois, pemarah, manja, selalu minta perhatian, dan songong. Saya jadi berharap mereka semua mati saja bersama-sama dengan Kate yang mereka rindukan itu.
So, I stop reading, sebab saya bahkan tidak peduli bagaimana akhir cerita untuk masing-masing tokoh. Bagi saya, mereka sudah mati bersama kematian Kate.
oh dear ..
ReplyDeleteKalau katanya Marah Ryan, 'whatever.' :p
Deletegile, boring banget mereka... gak ada perubahan kelakuan dari tokoh2nya... *no wonder you stop reading*
ReplyDelete